Sepdian Syafikri 23-2014-028 @fikriflux
Berkaitan dengan mata kuliah survey satelit, dimana terdapat pemanfaatan
teknologi untuk mengetahui kegiatan geodinamika. dalam materi ini penulis
mencoba untuk mengangkat fenomena penurunan tanah ( Land Subsidance ) dan
Pergerakan Lempeng.
I.
PEMANTAUAN PENURUNAN TANAH (
Land Subsidance )
1. Fenomena Land Subsidance
Land
subsidence (penurunan tanah) adalah suatu fenomena alam yang banyak terjadi di
kota-kota besar yang berdiri di atas lapisan sedimen, seperti Jakarta,
Semarang, Bangkok, Shanghai, dan Tokyo. Dari studi penurunan tanah yang
dilakukan selama ini, diidentifikasi ada beberapa faktor penyebab terjadinya
penurunan tanah yaitu : pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan karena
beban bangunan, penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari
lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Dari empat
tipe penurunan tanah ini, penurunan akibat pengambilan air tanah yang
berlebihan dipercaya sebagai salah satu tipe penurunan tanah yang dominan untuk
kota-kota besar tersebut.
Karena data
dan informasi tentang penurunan muka tanah akan sangat bermanfaat bagi aspek-
aspek pembangunan seperti untuk perencanaan tata ruang (diatas maupun di
bawah permukaan tanah), perencanaan pembangunan sarana/prasarana, pelestarian
lingkungan, pengendalian dan pengambilan airtanah, pengendalian intrusi air
laut, serta perlindungan masyarakat (linmas) dari dampak penurunan tanah
(seperti terjadinya banjir); maka sudah sewajarnya bahwa informasi tentang
karakteristik penurunan tanah ini perlu diketahui dengan sebaik-baiknya dan
kalau bisa sedini mungkin. Dengan kata lain fenomena penurunan tanah perlu
dipelajari dan dipantau secara berkesinambungan.
Gambar 1.1 Fase Penurunan Muka Tanah
2. Teknik Pemantauan Land Subsidance
Pada
prinsipnya, penurunan tanah dari suatu wilayah dapat dipantau dengan
menggunakan beberapa metode, baik itu metode-metode hidrogeologis (e.g.
pengamatan level muka air tanah serta pengamatan dengan ekstensometer dan
piezometer yang diinversikan kedalam besaran penurunan muka tanah) dan metode
geoteknik, maupun metode-metode geodetik seperti survei sipat datar (leveling),
survei gaya berat mikro, survei GPS (Global Positioning System), dan InSAR
(Interferometric Synthetic Aperture Radar).
3.
Teknik Pemantauan Land Subsidance Dengan GPS Geodetik
GPS adalah
sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang berbasiskan pada pengamatan
satelit-satelit Global Positioning System [Abidin, 2000; Hofmann-Wellenhof et
al., 1997]. Prinsip studi penurunah tanah dengan metode survei GPS yaitu dengan
menempatkan beberapa titik pantau di beberapa lokasi yang dipilih, secara
periodik untuk ditentukan koordinatnya secara teliti dengan menggunakan metode
survei GPS. Dengan mempelajari pola dan kecepatan perubahan koordinat dari
titik-titik tersebut dari survei yang satu ke survei berikutnya, maka
karakteristik penurunan tanah akan dapat dihitung dan dipelajari lebih lanjut.
GPS
memberikan nilai vektor pergerakan tanah dalam tiga dimensi (dua komponen
horisontal dan satu komponen vertikal). Jadi disamping memberikan informasi
tentang besarnya penurunan muka tanah, GPS juga sekaligus memberikan informasi
tentang pergerakan tanah dalam arah horisontal.
GPS
memberikan nilai vektor pergerakan dan penurunan tanah dalam suatu sistem
koordinat referensi yang tunggal. Dengan itu maka GPS dapat digunakan untuk
memantau pergerakan suatu wilayah secara regional secara efektif dan efisien.
GPS dapat
memberikan nilai vektor pergerakan dengan tingkat presisi sampai beberapa mm,
dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial maupun temporal. Dengan
tingkat presisi yang tinggi dan konsisten ini maka diharapkan besarnya
pergerakan dan penurunan tanah yang kecil sekalipun akan dapat terdeteksi
dengan baik.
GPS dapat
dimanfaatkan secara kontinyu tanpa tergantung waktu (siang maupun malam), dalam
segala kondisi cuaca. Dengan karakteristik semacam ini maka pelaksanaan survei
GPS untuk pemantauan pergerakan dan penurunan muka tanah dapat dilaksanakan
secara efektif dan fleksibel.
4.
Penelitian Land Subsidence di Bandung dengan GPS
Land Subsidence memang belum banyak
dilaporkan di wilayah Bandung. Namun demikian, dari hasil beberapa
penelitian memperlihatkan adanya bukti land subsidence memang terjadi di daerah
Bandung. Kemungkinan besar faktor yang menjadi sebab terjadinya
subsidence di Bandung ini karena pengambilan air tanah yang berlebihan,
disamping karena adanya efek konsolidasi dari lapisan tanah, dan efek lain.
Fenomena land subsidence (penurunan
tanah) ini merupakan salah satu faktor yang cukup signifikan penyebab
terjadinya banjir di suatu daerah atau kawasan. Ketika titik-titik yang
mewakili suatu kawasan mengalami penurunan, yang menyebabkan daerah tersebut
menjadi lebih rendah dari tempat-tempat lainnya (membuat cekungan), atau malah
lebih rendah dari bentang hidrologi yang ada di sekitarnya, maka daerah
tersebut akan menjadi daerah yang berpotensi banjir terutama ketika musim hujan
tiba.
Pemantauan penurunan tanah di
wilayah Bandung dan sekitarnya (Bandung Basin) menggunakan teknologi satelit
GPS telah dilasanakan secara periodik oleh KK Geodesi bekerjasama dengan Dinas
Pertambangan Jawa Barat sejak tahun 2000 sampai dengan akhir tahun 2005, dimana
survei pengukurannya telah dilakukan sebanyak 5 periode pengamatan.
Dari hasil pengolahan data survey
GPS memang diperoleh informasi mengenai adanya penurunan tanah di wilayah
Bandung, dimana daerah Cimahi, Dayeuh Kolot, dan Cicalengka merupakan wilayah
yang cukup signifikan terjadi penurunan tanah. Besarnya penurunan tanah
di wilayah Bandung selama lima periode ini rata–rata berkisar antara beberapa
centimeter sampai beberapa desimeter, dan di daerah yang disebutkan di atas
mencapai beberapa puluh centimeter. Daerah-daerah tersebut adalah
merupakan daerah Industri yang memang mengkonsumsi air tanah yang cukup banyak
I.
II.
PEMANTAUAN PERGERAKAN LEMPENG
1.
Tiga Jenis Perbedaan Lempeng
Ada tiga jenis batas lempeng yang
berbeda dari cara lempengan tersebut bergerak relatif terhadap satu sama lain.
Tiga jenis ini masing-masing berhubungan dengan fenomena yang berbeda di
permukaan. Tiga jenis batas lempeng tersebut adalah:
a.
Batas
transform (transform boundaries)
Terjadi jika lempeng bergerak dan
mengalami gesekan satu sama lain secara menyamping di sepanjang sesar transform
(transform fault). Gerakan relatif kedua lempeng
bisa sinistral (ke kiri di sisi yang berlawanan dengan pengamat) ataupun
dekstral (ke kanan di sisi yang berlawanan dengan pengamat). Contoh sesar jenis
ini adalah Sesar San Andreas di California.
b.
Batas
divergen/konstruktif (divergent/constructive boundaries)
Terjadi ketika dua lempeng bergerak
menjauh satu sama lain. Mid-oceanic ridge dan zona retakan (rifting)
yang aktif adalah contoh batas divergen
c.
Batas
konvergen/destruktif (convergent/destructive boundaries)
Terjadi jika dua lempeng bergesekan
mendekati satu sama lain sehingga membentuk zona subduksi jika salah satu lempeng bergerak di
bawah yang lain, atau tabrakan benua (continental
collision)
jika kedua lempeng mengandung kerak benua. Palung laut yang dalam biasanya
berada di zona subduksi, di mana potongan lempeng yang terhunjam mengandung
banyak bersifat hidrat (mengandung air), sehingga
kandungan air ini dilepaskan saat pemanasan terjadi bercampur dengan mantel dan
menyebabkan pencairan sehingga menyebabkan aktivitas vulkanik. Contoh kasus ini
dapat kita lihat di Pegunungan Andes di Amerika Selatan dan busur pulau Jepang (Japanese island arc).
2. Kekuatan Penggerak Pergerakan Lempeng
Pergerakan
lempeng tektonik bisa terjadi karena kepadatan relatif litosfer samudera dan
karakter astenosfer yang relatif lemah. Pelepasan panas dari mantel telah
didapati sebagai sumber asli dari energi yang menggerakkan lempeng tektonik.
Pandangan yang disetujui sekarang, meskipun masih cukup diperdebatkan, adalah
bahwa kelebihan kepadatan litosfer samudera yang membuatnya menyusup ke bawah
di zona subduksi adalah sumber terkuat pergerakan lempengan.
Pada waktu
pembentukannya di mid ocean ridge, litosfer samudera pada mulanya
memiliki kepadatan yang lebih rendah dari astenosfer di sekitarnya, tetapi
kepadatan ini meningkat seiring dengan penuaan karena terjadinya pendinginan
dan penebalan. Besarnya kepadatan litosfer yang lama relatif terhadap
astenosfer di bawahnya memungkinkan terjadinya penyusupan ke mantel yang dalam
di zona subduksi sehingga menjadi sumber sebagian besar kekuatan
penggerak-pergerakan lempengan. Kelemahan astenosfer memungkinkan lempengan
untuk bergerak secara mudah menuju ke arah zona subduksi. Meskipun subduksi
dipercaya sebagai kekuatan terkuat penggerak-pergerakan lempengan, masih ada
gaya penggerak lain yang dibuktikan dengan adanya lempengan seperti lempengan
Amerika Utara, juga lempengan Eurasia yang bergerak tetapi tidak mengalami
subduksi di manapun. Sumber penggerak ini masih menjadi topik penelitian
intensif dan diskusi di kalangan ilmuwan ilmu bumi.
Pencitraan
dua dan tiga dimensi interior bumi (tomografi seismik)
menunjukkan adanya distribusi kepadatan yang heterogen secara lateral di
seluruh mantel. Variasi dalam kepadatan ini bisa bersifat material (dari kimia
batuan), mineral (dari variasi struktur mineral), atau termal (melalui ekspansi
dan kontraksi termal dari energi panas). Manifestasi dari keheterogenan
kepadatan secara lateral adalah konveksi mantel
dari gaya apung (buoyancy forces). Bagaimana konveksi mantel berhubungan
secara langsung dan tidak dengan pergerakan planet masih menjadi bidang yang
sedang dipelajari dan dibincangkan dalam geodinamika. Dengan satu atau lain
cara, energi ini harus dipindahkan ke litosfer supaya lempeng tektonik bisa
bergerak. Ada dua jenis gaya yang utama dalam pengaruhnya ke pergerakan planet,
yaitu friksi
dan gravitasi.
3. Lempeng-lempeng utama
Lempeng-lempeng
tektonik utama yaitu:
· Lempeng Australia, meliputi Australia (tergabung dengan Lempeng India antara 50 sampai 55 juta tahun yang
lalu)- Lempeng benua
4. Pemantauan
pergerakan lempeng dengan GPS
Pemantauan pergerakan lempeng bumi
dapat dilakukan dengan menggunakan metode radial, dimana telah ditentukan
titik-titik pengamatan yang digunakan secara continue. Pengamatan pergesaran
lempeng, dilakukan dilokasi yang lempeng nya relative bergerak, seperti pada
lempeng yang berada di sepanjang pesisir pulau Sumatra.
Pengamatan dilakukan dengan
menggunakan GPS tipe Geodetik pengamatan dilakukan untuk mengetahui pergerakan
lempeng bumi untuk dijadikan sebagai analisis area rawan tsunami, sehingga
pemerintah dapat membuat jalur-jalur evakuasi tercepat dan teraman apabila
terjadi tsunami.
Gambar
2.1 Tampilan pergerakan Lempeng
Hasil pengamatan terhadap pergerakan
lempeng dapat diketahui dengan membandingkan antara hasil pengamatan tiga tahun
sebelum nya, dengan hasil pengamatan saat ini. Lempeng bumi dikatakan bergerak,
apabila hasil pengamatan GPS menunjukan pergerakan titik pengamatan kearah yang
sama.
Sumber
Informasi :
0 komentar:
Posting Komentar